Diposkan pada Akidah

Sikap Islam tentang Keimanan Terhadap Kitab Allah

BEBERAPA KERANCUAN DALAM PRAKTIK IMAN KEPADA KITAB-KITAB ALLAH

  1. Tidak sempurna praktik keimanan kepada Kitab-kitab Allah sampai mempelajari seluruhnya

Kerancuan ini muncul karena belum mempelajari beberapa penjelasan di atas seputar perincian iman kepada Kitab-kitab Allah, terutama poin (3) syariat kitab-kitab sebelum Al-Qur’an terbatas pada umat tertentu; poin (5) beberapa syariat pada kitab-kitab sebelum Al-Qur’an telah dinasakh dengan diturunkannya Al-Qur’an pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam; dan poin (6) keimanan kepada Kitab-kitab terdahulu tidak sampai pada tahap mempelajari isinya dengan sebab telah terjadi perubahan dan penyimpangan pada kitab-kitab sebelum Al-Qur’an. Adapun jika sekiranya pemilik ujaran di atas telah paham dengan 3 poin tersebut namun tetap menganjurkan untuk membaca Kitab-kitab terdahulu tanpa bermaksud membantah Ahli Kitab, maka dia telah mendustakan isi Al-Qur’an.

Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam marah tatkala melihat ‘Umar datang dengan membawa beberapa lembar dari Taurat:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكِتَابٍ أَصَابَهُ مِنْ بَعْضِ أَهْلِ الْكُتُبِ ، فَقَرَأَهُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَغَضِبَ ، وَقَالَ : أَمُتَهَوِّكُونَ فِيهَا يَا ابْنَ [6/3197] الْخَطَّابِ ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً لَا تَسْأَلُوهُمْ عَنْ شَيْءٍ فَيُخْبِرُوكُمْ بِحَقٍّ فَتُكَذِّبُوا بِهِ أَوْ بِبَاطِلٍ فَتُصَدِّقُوا بِهِ ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ مُوسَى كَانَ حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلَّا أَنْ يَتَّبِعَنِي

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiallahu ‘anhu, Suatu saat ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa sebuah kitab yang ia dapatkan dari sebagian Ahli Kitab. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membacanya. Beliau kemudian marah dan bersabda, “Apakah engkau termasuk orang yang bingung, wahai Ibnul Khaththab? Demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, sungguh aku telah datang kepada kalian dengan membawa agama yang putih bersih. Jangan kalian bertanya sesuatu kepada mereka (Ahlul Kitab) karena (boleh jadi) mereka mengabarkan al-haq kepada kalian namun kalian mendustakannya, atau mereka mengabarkan satu kebatilan lalu kalian membenarkannya. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa ‘alaihissalam masih hidup niscaya tidak diperkenankan baginya melainkan dia harus mengikutiku.”

(HR. Ahmad, no. 15388, Terbitan Jam’iyah al-Mukniz al-Islami dan Dar al-Minhaj, cet. I, 1431 H, sanadnya lemah karena ada rawi bernama Mujalid, namun secara umum hadis ini hasan dengan syahid dari hadis ‘Umar sendiri yang dikeluarkan ‘Abdurrazzaq dalam Mushonnaf-nya, No. 10163 dengan sanad yang kuat)

  1. Sebenarnya yang dimaksud “diubah” itu bukan Tauratnya, tetapi terjemahan Taurat dari bahasa Aslinya ke Bahasa Arabnya yang kurang pas. Itu yang kemudian dikritik oleh nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Kerancuan ini pun jauh dari bukti ilmiah, berangkat dari asumsi pribadi atau bisa berasal berita hoax dari kalangan Ahli Kitab. Hal ini melazimkan bahwa awal kesalahan berawal pada penerjemahan Taurat dan Injil ke dalam bahasa Arab, lalu terjadi kekeliruan dalam menginterpretasikannya sehingga tidak sesuai dengan nash asli dua kitab tersebut. Padahal perubahan tersebut dilakukan sendiri oleh Ahli Kitab dalam kitab-kitab mereka, buktinya disebutkan sendiri oleh Allah Ta’ala pada QS. al-Maidah: 41 dan QS. al-Baqoroh: 79 (sudah disebutkan pada poin (6) pada Perincian Iman Kepada Kitab-kitab Allah, silakan dibaca kembali).

Pada ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman:

﴿ أَفَتَطْمَعُونَ أَنْ يُؤْمِنُوا لَكُمْ وَقَدْ كَانَ فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَسْمَعُونَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ يُحَرِّفُونَهُ مِنْ بَعْدِ مَا عَقَلُوهُ وَهُمْ يَعْلَمُونَ ﴾ [البقرة: 75]

“Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?”

Allah juga berfirman:

﴿ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ ﴾ [النساء: 46]

“Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya …”

Allah juga berfirman:

﴿ فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ لَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَنَسُوا حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ وَلَا تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلَى خَائِنَةٍ مِنْهُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْهُمْ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ ﴾ [المائدة: 13]

“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka mengubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat pengkhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”

Dalam sebuah hadis disebutkan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: كَانَ أَهْلُ الْكِتَابِ يَقْرَءُونَ التَّوْرَاةَ بِالْعِبْرَانِيَّةِ ، وَيُفَسِّرُونَهَا بِالْعَرَبِيَّةِ لِأَهْلِ الْإِسْلَامِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تُصَدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابِ وَلَا تُكَذِّبُوهُمْ ، وَقُولُوا: { آمَنَّا بِاللهِ وَمَا أُنْـزِلَ } الْآيَةَ

“Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu beliau berkata, “Dahulu Ahlul kitab membaca Taurat dengan bahasa Ibrani dan mereka tafsirkan dengan bahasa Arab kepada ahlul Islam (muslimin).” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jangan kalian percayai mereka, jangan pula kalian dustakan. Namun katakanlah (seperti dalam ayat): {Katakanlah: (Hai orang-orang mukmin), ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami’…} (al-Baqarah: 136)”(HR. Bukhari, no. 4485)

Hadis tersebut menunjukkan bahwa pihak yang menerjemahkan Kitab mereka ke dalam bahasa Arab adalah mereka sendiri, bukan umat Islam. Bukti lain kalau perubahan Kitab Taurat dan Injil yang tersebut dalam Al-Qur’an bukan sekedar salah terjemahan ke dalam Bahasa Arab adalah sebagaimana disebutkan dalam tafsir QS. Al-Maidah: 41 (sudah disebutkan ayatnya pada pembahasan di atas), Ibnu Katsir berkata:

الصحيح أنها نزلت في اليهوديَّين اللَّذَين زنيا، وكانوا قد بدَّلوا كتاب الله الذي بأيديهم من الأمر برجم من أحصن منهم، فحرَّفوا واصطلحوا فيما بينهم على الجلد مائة جلدة، والتحميم، والإركاب على حمار مقلوبين

“Pendapat yang benar bahwasanya ayat tersebut turun tentang dua orang Yahudi yang berzina, sedangkan di kalangan mereka telah mengubah Kitabullah (Taurat) yang ada di tangan mereka berupa perintah rajam terhadap pezina yang telah menikah di kalangan mereka, maka mereka memutarbalikkan dan menyepakati di antara mereka sendiri berupa jilid seratus kali cambuk, mandi, dan menunggangi seekor keledai secara terbalik.” (Tafsir Ibnu Katsir 5/220)

Adapun bukti paling terang akan adannya perubahan dan penyimpangan mereka adalah munculnya keyakinan bahwa Allah memiliki anak, baik ‘Uzair pada agama Yahudi maupun ‘Isa bin Maryam pada agama Nashrani, Maha Suci Allah dari mengambil anak sebagai sekutu. Padahal Allah tidak mengajarkannya di dua kitab tersebut.

  1. Orang Islam menyangka kata seperti “Islam” dalam ayat Al-Qur’an itu sebagai agama, padahal itu adalah kata yang artinya damai

Lagi-lagi kerancuan di atas terkuak karena penuturnya tidak cermat dalam menelaah al-Qur’an, hanya berdasarkan intuiting introvert (jenis kepribadian yang berbasis pada kecerdasan indra keenam (intuisi) yang proses kerjanya dikemudikan dari dalam dirinya menuju keluar dirinya). Sehingga orientasinya dalam memandang agama menggiringnya untuk mengaku tetap berketuhanan tapi enggan beragama karena dianggap sebagai sumber keributan dan perpecahan manusia.

Untuk menjawab hal ini, akan dijabarkan sedikit demi sedikit, bi idznillah. Pertama, Islam adalah agama. Hal ini bukan kesimpulan umat Islam ataupun umat beragama secara umum dalam memandang Islam. Karena Allah ‘Azza wa Jalla berfirman dengan menyebutkan Islam sebagai ad-diin (agama)

وَوَصَّىٰ بِهَآ إِبْرَٰهِـۧمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَـٰبَنِىَّ إِنَّ ٱللَّهَ ٱصْطَفَىٰ لَكُمُ ٱلدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ [البقرة: 132]

“Dan Ibrāhīm telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya`qūb (Ibrāhīm berkata), “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam”.

Bukti kedua:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى ٱلدِّينِ مِنْ حَرَجٍ ۚ مِّلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَٰهِيمَ ۚ هُوَ سَمَّىٰكُمُ ٱلْمُسْلِمِينَ مِن قَبْلُ [الحج: 78]

“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) millah (agama) orang tuamu Ibrāhīm. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Islam dari dahulu.”

Bukti ketiga:
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ ٱلْإِسْلَـٰمِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِى ٱلْـَٔاخِرَةِ مِنَ ٱلْخَـٰسِرِينَ [آل عمران: 85]

“Barang siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”

Bukti keempat:
ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَـٰمَ دِينًا ۚ [المائدة: 3]

“Pada hari ini, telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagimu.”

Kedua, makna Islam bukanlah damai sebagaimana yang disangka sebagian orang. Damai bila diarabkan disebut salam. Hal ini pula yang menunjukkan bahwa penutur kalimat Islam bukan agama masih jauh dari mengenal bahasa Arab. Adapun Islam adalah mashdar dari aslama-yuslimu yang bermakna al-istislam. Istislam sendiri bermakna merendahkan diri atau dalam bahasa kita bermakna “berserah diri.” Buktinya terdapat dalam ayat berikut:

﴿ فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ ﴾ [الصافات: 103]

“Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrāhīm membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya).”
Yaitu berserah diri dan tunduk terhadap perintah Allah.

Adapun secara istilah, islam memiliki dua makna:
a) Tunduknya seluruh makhluk terhadap perintah Allah secara kauni qodari, artinya makhluk mau tidak mau pasti akan mengalaminya baik rela atau tidak, semisal sehat dan sakit, hidup dan mati, kaya dan miskin. Allah berfirman:

﴿ أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ ﴾ [آل عمران: 83]

“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nyalah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan.”

b) Tunduk dan berserah diri kepada Allah secara syar’i, dalam artian makhluk memiliki kehendak untuk berbuat di dalamnya, sehingga tidak setiap dari mereka berkehendak untuk mengerjakannya. Islam dengan makna kedua ini masih dibagi lagi menjadi 2: (1) Islam dengan makna umum, yaitu agama Islam yang dibawa oleh para Rasul secara keseluruhan. Perhatikan ayat berikut ini:

﴿ إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ ﴾ [المائدة: 44]

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang berserah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka.”

Begitu juga QS. Yunus: 72 tentang keislaman Nabi Nuh ‘alaihissalam, QS. Al-Baqoroh: 128 tentang keislaman Nabi Ibrahim dan Isma’il ‘alaihimassalam, QS. Al-A’raf: 126 tentang keislaman tukang sihir Fir’aun, QS. Ali ‘Imron: 52 tentang keislaman hawari Nabi ‘Isa ‘alaihissalam, dan ayat-ayat lain yang semisal dalam hal ini.

(2) Islam dengan makna khusus, yaitu agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Ketiga, klaim bertuhan dan taqorrub dengan-Nya tanpa harus beragama. Klaim ini hampir sejalan dengan pandangan kaum agnostik yang masih memercayai adanya Tuhan dengan syarat jika mereka bisa membuktikan keberadaan Tuhan secara ilmiah. Jika pun terbukti klaim pencarian ilmiah mereka ada Tuhan, para penganut agnostik percaya Tuhan hanya satu dan tak ada agama yang membedakannya. Klaim ini batil karena berangkat dari anggapan bahwa agama adalah hasil budaya dan pengalaman sesuai zamannya. Memang benar ada beberapa agama yang murni hasil budaya manusia, tapi jangan dilupakan ada juga agama samawi, yang terdiri dari Yahudi, Nashrani dan Islam.

Yahudi dan Nashrani berasal dari agama Islam dengan makna umum yang dibawa oleh Nabi Musa dan ‘Isa ‘alaihimassalam yang diselewengkan oleh Ahli Kitab. Tersisa hanya Islam sebagai satu-satunya agama samawi (berasal dari Allah langsung) yang tetap Allah jaga kemurniannya sampai hari Kiamat. Lalu bagaimana ada yang mengklaim bertuhan dan dekat dengan-Nya, lalu pada saat bersamaan dia enggan mengikuti taujihat dan hukum-Nya dengan memeluk Islam sebagai agama dan ajaran hidup?

  1. Al-Baqarah itu summary dari Taurat dan Al-Maidah itu cerita di Injil
    Kerancuan poin (4) adalah cabang dari kerancuan poin (1), sehingga cukup jelas kekeliruannya. Karena mengajak pada konsekuensi batil, yaitu mencari tafsir dari QS. Al-Baqoroh dan Al-Maidah dari Taurat dan Injil. Selain itu, secara umum al-Qur’an mencakup 3 hal: tauhid wa ‘aqo’id (pengesaan dan akidah); taujihat wa ahkam (petunjuk dan hukum); dan qishosh wa mawa’izh (kisah dan nasihat). Cakupan petunjuk dan hukum secara khusus terdapat pada surat-surat madaniyah, yaitu surat yang turun setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hijrah ke Madinah.

Sedangkan surat al-Baqoroh dan al-Maidah termasuk di antara surat-surat madaniyah yang berisi tidak hanya berisi kisah para Nabi terdahulu, tapi juga berisi tauhid, akidah, petunjuk dan hukum. Poin (5) dari perincian iman kepada Kitab-kitab Allah telah menjelaskan bahwa al-Qur’an menghapus sebagian hukum yang terdapat pada kitab-kitab terdahulu. Mengembalikan tafsir kisah yang terdapat dalam kedua surat tersebut kepada Taurat dan Injil merupakan kemunduran, menafikan fungsinya sebagai muhaimin (penguji) bagi kitab-kitab sebelumnya yang sebagiannya telah mengalami perubahan dan penyimpangan oleh para penganutnya.

Begitu juga klaim sepihak bahwa al-Qur’an merupakan rangkuman atau akhir cerita dari rangkaian Kitab-kitab sebelumnya. Klaim tersebut sejalan dengan pandangan kaum Orientalis yang menuduh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam membawa ajaran al-Qur’an sebagai hasil belajar dari para pendeta. Mereka seakan-akan lupa bahwa beliau adalah Nabi yang tidak bisa baca-tulis, menerima wahyu al-Qur’an dari Allah melalui perantaraan Malaikat Jibril ‘alaihissalam.

Penulis:

Mahasiswa ilmu hadis dari sebuah kampus di Jawa Timur.

Tinggalkan komentar