Diposkan pada Fikih Hadis

Bahasan Kedua: Metodologi Para Sahabat dalam Berinteraksi dengan Masalah Khilafiyah yang Terkandung dalam Bidang Ibadah

Para sahabat memiliki perhatian terhadap sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  dalam bentuk praktik dan implementasi, irsyad, ta’lim, tabligh, memberi dilalah terhadapnya, motivasi agar berpegang teguh terhadapnya, dan tahdzir dari menyelisihinya. Termasuk di dalamnya: petunjuk dan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pada haji –mereka telah bersama beliau pada saat haji dan setelah wafat shallallahu ‘alaihi wasallam-, sikap-sikap yang terpuji, durus yang nairah, semangat dalam mengikuti sunnah dan menelusuri atsar, meninggalkan khilaf dan syiqaq, menjauh dari munaza’at dan khushumat, yaitu jalan yang benar dan metode yang jujur. Untuk hal ini ada contoh yang banyak yang berisi fawaid dan ahkam yang penting.

Contoh yang paling menonjol atas hal tersebut adalah:

ikhtilaf sahabat dalam masalah qashar shalat di Mina saat Haji. ‘Andurrahman bin Yazid berkata: “Kami shalat di belakang Utman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu di Mina empat rakaat. Hal itu dikatakan kepada ‘Abdullah bin Mas’ud, maka beliau beristirja’ (mengucap innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun), kemudian beliau berkata: “Kami shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Mina dua rakaat, begitu pula di belakang Abu Bakr dan ‘Umar bin al—Khaththab. Maka aku berharap keberuntunganku dua rakaat yang diterima dari empat rakaat. (Muttafaqun ‘alaihi).

Hadis ini menunjukkan bahwa ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu memandang itmam itu boleh, bila tidak ketika beliau merasa beruntung dari empat rakaat namun tidak dari selainnya, maka itu menjadi rusak seluruhnya. Istirja’ beliau hanya karena terjadi dari penyelisihannya yang pertama. Hal ini dikuatkan dengan apa yang datang pada riwayat kedua yang di dalamnya ada tambahan: al-A’masy berkata: Mu’awiyah bin Quroh menceritakan kepadaku, dari para gurunya, bahwa ‘Abdullah shalat empat rakaat. Beliau mengatakan: dikatakan kepadanya: “Engkau mencela ‘Utsman lalu engkau shalat empat rakaat?” Beliau menjawab: “Perselisihan itu buruk.” (Sunan Abu Dawud, sahih).

Pada riwayat ketiga: “Perselisihan lebih buruk.” (Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, sahih), yaitu beliau membenci perselisihan dan konflik. Beliau membenci kesulitan dan menghilangkan ketaatan, dalam ucapan dan pekerjaan beliau adalah ajakan kepada orang lain untuk mengikuti atsar beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengikuti jalannya, dan dari sini dibenarkan bagi seorang muslim untuk meninggalkan yang afdhal; untuk melembutkan hati, menyatukan kalimat, dan karena takut membuat manusia lari, ini disebut saddu dzari’ah.

Ini juga dilakukan oleh ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di Mina dua rakaat, Abu Bakr setelah beliau, ‘Umar setelah Abu Bakr, dan ‘Utsman yang muncul dari khilafahnya. Kemudian ‘Utsman setelahnya shalat empat rakaat. Maka Ibnu ‘Umar bila shalat bersama imam, beliau shalat empat rakaat, bila sendiri beliau shalat dua rakaat. (Shahih Muslim).

Para ulama menyebutkan alasan penyempurnaan ‘Utsman bin ‘Affan shalat di Mina dengan beberapa aqwal, di antaranya:

  1. Beliau tinggal di sana selama tiga kali. Al-Zuhri berkata: “Telah sampai kepadaku bahwa Utsman radhiyallahu ‘anhum salat empat rakaat karena berniat untuk tinggal disana setelah haji.”
  2. Beliau mengambil pendapat kebolehkan untuk melakukannya, karena musafir dapat mempersingkat dan menyempurnakan shalat, sama seperti ia boleh berpuasa dan berbuka puasa, dan dalam hadits terdapat dalil bahwa musafir diizinkan untuk menyempurnakan shalat. Jika tidak, mereka tidak akan menyetujui ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu.
  3. Itu dilakukan dengan secara khusus. Al-Zuhri mengatakan: “Utsman Ibn Affan menyempurnakan shalat di Mina demi orang-orang Arab, karena mereka berlipat ganda saat itu, dan shalat empat rakaat untuk mengajari mereka bahwa sholat adalah empat rakaat.”
  4. Beliau adalah pemimpin rakyat, dan imam sesuai tempat dia singgah, pekerjaan dan mandatnya seolah-olah itu adalah tanah kelahirannya.
  5. Bahwa Mina telah dibangun dan menjadi sebuah desa di mana ada banyak tempat tinggal selama masa pemerintahannya, dan ini tidak terjadi selama era Rasulullah melainkan sebuah area kosong.
  6. Beliau bertekad untuk menetap dan tinggal di Mina, dan menjadikannya sebagai rumah kekhalifahan, sehingga menyempurnakannya, kemudian tampaknya beliau kembali ke Madinah.
  7. Dia memenuhi syarat untuk menjadi penduduk Mina. Musafir jika dia tinggal di suatu tempat, menikah di dalamnya, atau memiliki seorang istri di dalamnya, maka dia menyempurnakan shalat. Para ulama berbeda pendapat tentang qashar shalat di Mina untuk penduduk Mekah. Beberapa ulama mengatakan: “Tidak boleh bagi penduduk Mekah untuk mengqashar shalat ke Mina, kecuali siapa pun yang bepergian di Mina.” Ini merupakan perkataan Atha’, al-Zuhri, ats-Tsauri, Abu Hanifah, rekan-rekannya, asy-Syafi’i, Ahmad, Abu Tsaur, Ibn Juraij, Yahya bin Sa’id al-Qaththan, dan Ishaq. Beberapa ulama lain mengatakan: “Tidak masalah dengan penduduk Mekah untuk mengqashar shalat di Mina.” Ini adalah pendapat Ibnu Umar,  Salim, Al-Qasim, Thawus, Al-Auza’i, Ishaq, Malik, Sufyan bin Uyainah dan Abdurrahman bin Mahdi.

Penulis:

Mahasiswa ilmu hadis dari sebuah kampus di Jawa Timur.

Satu tanggapan untuk “Bahasan Kedua: Metodologi Para Sahabat dalam Berinteraksi dengan Masalah Khilafiyah yang Terkandung dalam Bidang Ibadah

Tinggalkan komentar